REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DPW Jatim, Hengky Pratoko menyarankan agar bisnis kepelabuhan dan maritim ke depan harus punya ekosistem yang lebih jelas dan terintegrasi dengan baik, agar ekspor Indonesia bisa meningkat. Hengky menyayangkan kerap terjadinya over lapping antar aparat dalam dunia kemaritiman. Itu menurutnya tak jarang menghambat proses ekspor.
Dia mencontohkan, masalah penangkapan kapal MV Seaspan Fraser yang mengangkut kontainer barang ekspor dari Surabaya tujuan Singapura. Penangkapan dilakukan TNI AL saat kapal berjalan, hingga akhirnya barang tersebut ditahan selama 30 hari di Batam, dengan alasan masalah keamanan. Padahal dokumen ekspor telah dilengkapi sehingga kapal bisa berangkat.
“Akhirnya barang ekspor ini mengalami keterlambatan sampai 30 hari. Kalau itu barang untuk momen Natal misalnya, pasti di negara tujuan sudah tidak diperlukan lagi. Nah kasus seperti ini menjadi tanggung jawab siapa untuk diperairan karena ada TNI AL, ada polisi, ada Karantina,” kata Hengky di sela Seminar Nasional Maritime Leadership yang digelar Stiamak Barunawati Surabaya, Rabu (18/12).
Kasus seperti ini yang menurutnya malah akan menghambat ekspor Indonesia. Kasus tersebut juga menurutnya tak sejalan dengan tekad pemerintah yang menargetkan kenaikkan ekspor hingga berkali-kali lipat.
“Jangan dulu targetkan ekspor meningkat dua kali lipat, tiga kali lipat, tapi benahi dulu ekosistemnya,” ujar Hengky.
Hengky mengatakan, pengusaha logistik dan forwader maupun pengusaha pelayaran berharap pemerintah memiliki satu badan pengawasan di laut atau single body. Sehingga tidak terjadi over lapping yang kerap dilakukan aparat yang ada. Dengan adanya satu badan pengawasan, maka tidak akan terjadi tumpang tindih penindakan.
“Terutama agar tidak menghambat kinerja ekspor, karena kalau itu terjadi, dikhawatirkan berdampak pada penurunan ekspor karema buyer di luar negeri kecewa dan enggan untuk order barang lagi dari Indonesia,” ujar Hengky.
Hengky mengingatkan, betapa banyak yang akan dirugikan jika proses ekspor terhambat, karena buyer di luar negeri tidak lagi percaya terhadap eksportir Imdonesia. Dimana tidak hanya eksportir yang dirugikan. Tetapi juga pekerja lain yang terlibat ekspor dimaksud.
“Contohnya ekspor furniture. Itu kan untuk ngangkut satu kontainer saja sudah banyak tenaga kerjanya. Kalau ekspor terhambat, kan mereka juga jadinya kehilangan pekerjaan,” kata Hengky.
Hengky melanjutkan, setiap customer memiliki keinginan untuk mendapatkan layanan yang efisien dan cepat serta mengedepankan servis yang bagus. Hal ini lah yang seharusnya bisa digali lebih dalam oleh instansi terkait seperti Bea Cukai, Karantina, dan aparat pemerintah lainnya.
Sumber: https://republika.co.id/